Terlalu Dini Mendaftarkan Si Kecil ke Sekolah, Ini Dampaknya
Memasuki tahun ajaran baru, Mom & Dad yang memiliki balita mulai menghadapi dilemma. Apakah si kecil sudah siap untuk masuk sekolah atau masih harus menunggu satu tahun lagi? Kalau menunggu, anak tetangga yang seusia saja sudah mau masuk tahun ajaran ini. Nanti si kecil ketinggalan.
Perlu Mom & Dad ketahui, Nadiem Makariem selaku menteri pendidikan telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 1 tahun 2021. Permendibud ini mengatur pelaksanaan PPDB di lembaga pendidikan berbagai jenjang, mulai TK hingga SMA. Salah satu kebijakan yang diatur di dalamnya adalah kebijakan usia minimal untuk jenjang TK dan SD serta usia maksimal untuk jenjang SMP dan SMA.
Usia minimal yang harus dipenuhi oleh si kecil yang akan masuk TK adalah 4 tahun per tanggal 1 Juli pada saat mendaftar. Bagi Mom & Dad yang mempunyai anak yang akan masuk SD, usia minimal adalah 6 tahun pada tanggal 1 Juli pendaftaran.
Dampak Sekolah terlalu Dini
Berikut ini beberapa dampak yang terjadi pada si kecil jika terlalu dini masuk sekolah:
- Mudah Mendapatkan Label Negatif
Jika Mom & Dad memiliki balita usia menjelang 4 tahun, perhatikan tingkah lakunya. Di usia 3-4 tahun, si kecil biasanya sedang mengeksplorasi kekuatan fisiknya. Dia akan berlari ke sana kemari, memanjat pohon, melompati tembok, berguling di lantai, membenamkan diri di pasir, dan lain-lain. Bagi si kecil, dunia adalah tempat dia bisa menaklukan apapun dengan tubuhnya.
Bayangkan apa yang akan terjadi jika si kecil dengan keinginan kuat menjelajahi dunia fisik ini kemudian disuruh duduk manis di ruangan kelas?
Ketika si kecil yang sedang berada di fase aktif ini tidak bisa duduk manis dalam waktu yang lama, hal yang paling lumrah terjadi adalah munculnya label negatif pada anak. Misalnya, hiperaktif, ADHD, tidak bisa diam, dan lain-lain. Pandangan orang pada si kecil pun mendadak berubah, dari seorang anak yang siap menaklukan dunia menjadi seorang anak pembuat masalah.
Sebuah laporan yang dirilis pada tahun 2012 oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menyebutkan sebanyak 42% anak usia 4-17 tahun di Amerika Serikat didiagnosis mengidap ADHD. ADHD merupakan gangguan konsentrasi dan hiperaktivitas. Dari jumlah tersebut, sepertiganya adalah anak di bawah usia 6 tahun.
- Kehilangan Masa Kanak-Kanak
Mom & Dad tentu sudah memahami bahwa dunia si kecil adalah dunia bermain yang bebas dan ceria. Sementara itu dunia sekolah adalah dunia belajar dengan seperangkat kurikulum dan aturan yang harus dipatuhi. Perbedaan besar antara kedua dunia ini bisa menyebabkan si kecil yang masuk sekolah terlalu dini kehilangan masa kanak-kanaknya.
Sekolah memiliki desain kurikulum tersendiri yang harus dipenuhi oleh setiap anak. Masing-masing anak harus mencapai standar tertentu agar dikatakan berhasil. Yang sering menjadi masalah adalah banyak lembaga pendidikan memfokuskan kurikulum pada perkembangan kognitif tapi kurang memfasilitasi sisi sosial dan emosional anak.
Akibatnya si kecil lebih sibuk mengejar target akademik dan mengorbankan masa kanak-kanaknya.
- Pengalaman Traumatis Berkepanjangan
Si kecil yang belum bisa memenuhi target akademik yang ditetapkah sekolah tentu akan mendapatkan cap sebagai anak gagal. Kondisi ini seringkali diperparah oleh sebagian pendidik yang belum paham dengan kondisi anak, yang dengan mudah menghakimi si kecil. Alih-alih membantu si kecil mengatasi kesulitan, sebagian kecil pendidik malah men-judge si kecil tidak akan berhasil di sekolah.
Kondisi seperti ini memberikan efek traumatis jangka panjang pada si kecil. Efek traumatis ini bisa berbahaya karena jika tidak ditangani dengan baik akan terbawa sampai ke masa dewasa. Berapa banyak orang dewasa yang masih percaya bahwa dirinya orang yang gagal hanya karena semasa TK pernah dihakimi oleh gurunya?
Mengatasi Dampak Negatif Sekolah Terlalu Dini
Untuk mengatasi dampak negatif dari masuk sekolah terlalu dini, diperlukan kerjasama kedua belah pihak. Baik dari pihak lembaga pendidikan maupun dari pihak Mom & Dad. Dari pihak sekolah setidaknya bisa melakukan dua hal, yaitu
- Menurunkan standar kurikulum
Seorang peniliti Harvard Medical School mengomentari laporan CDC yang menyebutkan 42% anak usia 4-17 tahun didiagnosa ADHD. Menurutnya, yang gagal bukanlah anak-anak, tetapi sekolah yang menerapkan standar yang terlalu tinggi. Oleh karena itu, sudah saatnya pihak sekolah menurunkan standar sesuai dengan kapasitas anak.
Seiring dengan perkembangan teori pendidikan sekarang dikenal istilah personalized learning. Yaitu pembelajaran yang disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan individu anak.
- Menyesuaikan kurikulum dengan tingkat perkembangan anak
Selain menurunkan standar, hal lain yang bisa dilakukan adalah menyusun kurikulum yang sesuai usia perkembangan anak. Usia TK di mana si kecil masih ingin mengeksplor dunia sekitar sebaiknya lebih diperbanyak aktivitas bermain yang menyenangkan. Artinya, TK lebih difokuskan pada pengembangan fondasi sosial dan emosional anak.
Jika secara sosial dan emosional anak sudah terbentuk di usia TK, maka ketika memasuki SD anak anak lebih siap untuk perkembangan intelektualnya. Anak-anak yang sehat secara emosional memiliki kemampuan untuk menyerap pembelajaran dengan baik sehingga target akademik yang sudah ditetapkan bisa tercapai dengan baik.
Lantas bagaiman dari sisi Mom & Dad? Jika si kecil sudah terlanjur bersekolah di usia dini dan menemukan gejala si kecil mengalami banyak kesulitan, Mom & Dad Bisa melakukan beberapa tips berikut:
- Posisikan si kecil sebagai anak yang membutuhkan bantuan
Ketika si kecil belum bisa berhitung 1-10 seperti teman-temannya, alih-alih menganggap si kecil anak yang gagal, Mom & Dad bisa menganggpnya sebagai anak yang membutuhkan bantuan. Dengan sudut pandang seperti ini, Mom & Dad akan lebuh terbuka untuk memberikan bantuan kepada anak.
Mom & dad bisa mencoba aktivitas belanja bersama. Misalnya mengajak si kecil ke supermarket kemudian meminta si kecil untuk mencarikan barang yang dibutuhkan. Setelah barang tersebut ketemu, minta si kecil untuk memasukan 10 buah ke keranjang belanja. Dengan aktivitas semacam ini, si kecil tidak akan merasa sedang diajari berhitung tapi sedang mengalami berhitung.
- Mengakui perasaan negatif yang dirasakan si kecil
Jika si kecil kecewa karena belum bisa membaca seperti teman-temannya, Mom & Dad tidak perlu menambah beban si kecil dengan menceramahinya untuk belajar lebih rajin. Sebaliknya, beri kesempatan pada si kecil untuk mengungkapkan perasaanya tanpa perlu menghakimi. Setelah perasaan negatif tersalurkan dan si kecil merasa lega, Mom & Dad bisa mengajaknya mencari solusi bersama.
- Fokus pada pengalaman sosial emosional si kecil di sekolah
Penting juga bagi Mom & Dad yang memiliki anak usia TK untuk menggali lebih banyak pengalaman sosial emosionalnya selama di sekolah. Hindari bertanya “belajar apa di sekolah?” atau “sudah bisa berhitung sampai berapa?” atau “tadi membaca sampai halaman berapa?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang bersifat akademik.
Gantilah pertanyaan Mom & Dad dengan “tadi main sama siapa?” atau “jajanan yang kamu bawa dibagi ke teman ngga?” atau “teman kamu yang namanya Fulan tadi ngapain?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat si kecil fokus pada pengalaman sosial dan emosional.
ditulis Hilman Firdaus